KOMPAS.com - Hidup memang senantiasa penuh kompetisi. Di dunia bisnis, fokus kompetisi adalah menghasilkan kualitas terbaik, memenangkan tender-tender bergengsi, juga memenangkan loyalitas pelanggan. Kompetisi juga jelas terlihat, di dunia pendidikan, politik, ekonomi, misalnya, dengan ditampilkannya peringkat daya saing bangsa, survei popularitas pejabat, indeks korupsi lembaga, dan lain-lain. Kita seringkali kecut bila mendengar berita “kekalahan”, baik itu kalahnya tim sepakbola, turunnya angka daya saing tenaga kerja, atau turunnya nilai ekspor handicraft. Sungguh berbeda rasanya saat kita mendengar berita kemenangan, seperti kemenangan Indonesia dalam ajang Sea Games yang baru lalu. Kita seolah lega dan otomatis berteriak bangga “Kita Bisa!”.
Seminggu lalu, saya mendengar dari teman saya, Susbandono, mengenai beberapa putra Indonesia yang berprestasi dalam ajang kompetisi fisika tingkat dunia, WOPHO (Word Physics Olympiad), yaitu Dr Oki Gunawan, Christian Emor, dan Evan Laksono. Edwin Tanin yang masih SMA pun, meraih medali emas pembuat soal eksperimen, padahal pemenang untuk soal-soal sejenis ini biasanya adalah profesor atau S3 yang sudah mumpuni di bidang fisika. Bukankah hal-hal seperti ini sungguh membanggakan?
Kompetisi yang kita hadapi semestinya membuat kita bisa mengembangkan mental juara, dan bukan sebaliknya menumbuhkan pesimisme. Bagaimana dengan kompetisi pemilihan karyawan terbaik? Ada anggapan kompetisi semacam ini dinilai tidak “bergigi”, bahkan sifatnya seolah bergilir seperti arisan. Kita memang tidak bisa berpikir sempit dan melihat kompetisi sebagai sebuah ajang pendek, karena ia sesungguhnya berlangsung terus dari hari ke hari, dan merupakan penggerak pertumbuhan, baik itu individu, tim, bahkan organisasi.
Di ruang pelatihan atlet olimpiade di Amerika, tertera tulisan di tiap pintu, loker, bahkan area bilas pemain: “Not Every Four Years: EVERYDAY”. Tulisan sederhana ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa “excellence” datang dari latihan dan penguasan sehari-hari, bukan pada saat saat menjelang pertandingan saja. Inilah yang ingin ditumbuhkan oleh perusahaan dan berbagai kompetisi seperti “employee of the year”. Tentunya perusahaan ingin agar karyawan mempunyai naluri “fight” yang tumbuh dari kompetisi semacam ini, sekaligus melatih kita fokus pada pengembangan diri, dan menyuburkan mentalitas juara sepanjang waktu.
Di mana garis finish Anda?
Beberapa orang, bila ditanya mengenai apa sasaran karier atau bahkan sasaran hidupnya, tidak bisa menjawab dengan segera. Banyak pula pejabat senior di perusahaan yang tidak bisa dengan gamblang menceriterakan kapan dan bagaimana kelanjutan karier atau perkembangan perusahaan berdasarkan pengetahuannya. Sangat berbeda bila orang terbiasa dengan kompetisi dan terasah memiliki mentalitas juara. Kompetisi membantu perusahaan mendorong karyawan berdiskusi, berkomunikasi, dan menyusun sasarannya dengan lebih jelas. Kompetisi bisa bermanfaat untuk membantu individu melihat sasaran ke depan sebagai sesuatu garis finish sementara, atau batu loncatan. Adanya persaingan, otomatis membuat individu memikirkan kekuatan dan area pengembangan dirinya, sekaligus mendorong ia membayangkan peluang-peluang untuk sukses.
Manusia memang pada dasarnya berorientasi pada sasaran. Otak kita bekerja untuk mencari solusi, setiap kita mempunyai sasaran. Keinginan individu untuk mempunyai penghasilan akan membuat ia melamar pekerjaan. Pertanyaannya, apakah kita biasa memperjelas sasaran dan membuat standar yang tinggi? Apakah kita terbiasa melakukan evaluasi dan melecut diri untuk terus memikirkan pengembangan diri? Bila kita memiliki sasaran tinggi, otomatis kita juga jadi biasa berlari. Sasaran yang sedang-sedang saja membuat individu pun tidak bersemangat. Itu sebabnya pimpinan perlu juga terus mendorong individu untuk meletakkan sasaran-sasaran yang menantang. Kunci kesuksesan akan terletak pada “the will to win”, yang harus diasah setiap hari sehingga individu mempersiapkan diri untuk meraih sukses dari waktu ke waktu. Keinginan untuk menang hanya bisa dipelihara bila individu memang terus memperbaiki fokus dan konsentrasinya dalam pekerjaan sehari-hari. Jadi, setiap orang bisa jadi juara.
Bertanding sebagai gaya hidup
Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang banyak orang menumbuhkan sikap pesimis akut karena melihat kegagalan, dan kecewa terhadap situasi yang ada di masyarakat atau pemerintahan. Bahayanya, sikap pesimis ini bisa terbawa juga ke tempat kerja. Bayangkan apa jadinya bila di tempat kerja kita tidak mempunyai sikap optimis untuk berprestasi dan berkontribusi? Apa jadinya bila setiap inisiatif atau program kerja baru senantiasa disikapi dengan sinis dan skeptis? Sikap pesimis sudah pasti membuat kita menularkan kemacetan dan semata membawa kita jalan di tempat. Bila kita peduli pada pengembangan diri dan pertumbuhan perusahaan, jalan terbaiknya adalah mengadopsi mental juara, memandang kompetisi sebagai gaya hidup yang memicu adrenalin dan gairah untuk berprestasi. Big results setidaknya sudah musti ada di pikiran kita dulu.
Kita tahu bahwa keluarga perenang, Nasution, berlatih setiap subuh, sore, dan malam, sehingga bisa mencatat prestasi mengesankan di ajang internasional. Kita tidak bisa hanya menjadi penonton, dan tidak bergerak mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan juara. Bila ingin menjadi pelari marathon, maka kita mesti mengadaptasi kebiasaan pelari marathon. Bila ingin menjadi penulis, maka habit penulis harus menjadi habit kita. Bila ingin jadi pemenang, maka habit pemenang sudah harus kita jalankan. Jangan lupa bahwa “Your choices create your outcomes. Your habits create your outcomes”.
Mental juara adalah efek kumulatif dari “setting” dan “achieving” sasaran kerja sehari-hari, dan tidak mentolerir standar kerja yang rendah. Individu di lingkungan yang kompetitif sudah biasa mengukur kemampuan, selalu percaya diri, dan biasa jatuh bangun dalam pencapaian sasaran. Mentalnya bukan mental “Let it Happen”, tetapi “Make it Happen”. Selamat Berkompetisi! (by Eileen Rachman/Sylvina Savitri, female.kompas.com)
Mengembangkan Mental Juara
Written By VisiOn Center on Rabu, 08 Agustus 2012 | 07.10.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar